Jiwa yang Tenang
Teruntuk jiwa-jiwa yang mengimani janji baik Tuhannya
Tidak pernah terbayangkan bahwa salah satu tempat yang cukup mengubah pandangan saya tentang hidup adalah ruang tunggu ICU.
Kurang lebih 4 bulan yang lalu, istri saya didiagnosis oleh dokter kandungan memiliki komplikasi kehamilan serius yang mengharuskan janin lahir lebih cepat dari waktu yang seharusnya. Kasus komplikasi ini sangat jarang terjadi, tapi pada saat yang bersamaan ternyata ada satu pasangan suami istri lain yang memiliki kasus serupa dengan kami diusia kehamilan yang berbeda beberapa hari saja dengan istri saya.
Waktu operasi disesuaikan dengan ketersediaan kamar NICU (Neonatal Intensive Care Unit). Ternyata di ibukota sekalipun, tidak semua rumah sakit memiliki ruang perawatan intensif khusus bayi. Beruntung, rumah sakit yang kami pilih saat itu memiliki ruang NICU sendiri.
Tibalah hari operasi sesuai jadwal yang telah ditentukan. Sebenarnya saya cukup terbiasa untuk pasrah pada hal-hal yang diluar kontrol dan kehendak pribadi. Tapi pagi itu, saya gelisah sekali. Penjelasan dokter dan informasi yang saya cari sendiri tentang perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran tetap tidak bisa menenangkan saya. Bersama para suami dan beberapa anggota keluarga pasien yang melakukan operasi hari itu, kami menunggu di ruang tunggu. Syukur, proses operasi berjalan lancar. Tetapi, bayi kami yang lahir kurang dari 2 kg itu langsung dilarikan ke ruang NICU.
Karena saat itu masih dalam masa pandemi, sebenarnya tidak ada jam besuk untuk ruangan ini. Kondisi yang sangat sulit bagi kami kala itu, kami tidak bisa dengan bebas bertemu dengan anak kami yang sudah lahir karena ia masih membutuhkan perawatan yang intensif dan sebisa mungkin tidak diganggu dulu oleh pihak selain dokter spesialis dan suster yang menjaga.
Tiga hari berlalu dan istri saya diperbolehkan pulang. Tetapi kami hanya pulang berdua saja, karena sang bayi masih belum diperbolehkan pulang. Waktu-waktu yang berat, apalagi kami sering melihat pasangan suami istri normal yang pulang langsung bersama dengan bayi mungilnya dengan wajah yang bahagia.
Setiap hari kami sempatkan datang menjenguk anak kami sambil mengantarkan ASI perah. Di saat yang sama, akhirnya kami sempat berkenalan dengan pasangan suami istri yang memiliki kasus serupa dengan kami. Ternyata kondisi lahirnya kedua bayi ini hampir sama persis, dan kebetulan ditempatkan di ruang isolasi yang sama. Kedua bayi ini lahir dengan berat badan lahir rendah dan organ pernafasan yang belum sempurna terbentuk, sehingga diperlukan alat bantu pernafasan serta harus masuk ke dalam inkubator.
Setiap hari selama kurang lebih 17 hari kami selalu berkunjung ke rumah sakit. Sambil menunggu dokter datang, biasanya kami menunggu di ruang tunggu ICU. Ruangan ini tidak terlalu besar, namun saat itu dipenuhi beberapa orang penunggu pasien. Sayup-sayup lantunan do’a selalu terdengar. Tak jarang isak tangis dari para penunggu pasien menggema ke seluruh ruangan. Berita buruk penurunan kondisi pasien hingga berita kematian sering lalu lalang terdengar di ruangan ini. Sejak hari-hari itu saya merasa perlu lebih menghargai dan memaknai hidup.
Sejenak pikiran tentang kondisi anak kami serta biaya pengobatannya hilang. Orang-orang di ruangan ini saling menguatkan. Saya ingat ada seorang ibu yang sedang menunggu suaminya melewati masa kritis. Ibu ini tegar sekali, sering menenangkan penunggu pasien yang lain sambil bercerita bagaimana ia menemani suaminya melewati kondisi kritis. Perasaan tidak sendiri ini membawa harapan kolektif bahwa kita bisa melewati masa sulit ini bersama.
“Death is very likely, the single best invention of life”
Saya belum pernah sedekat ini dengan orang-orang yang dekat dengan kematian. Fakta bahwa saya sering menghabiskan waktu untuk hal-hal yang tidak berguna di masa lalu menjadi sebuah refleksi diri. Karena di luar sana masih banyak orang yang memperjuangkan dirinya bahkan hanya untuk bisa bernafas.
Hari demi hari berlalu, hingga akhirnya hari bahagia itu datang. Masa kritis bayi kami sudah terlewati dan ia diperbolehkan pulang. Rasanya sangat bahagia hari itu, tapi ada sedikit perasaan sedih karena bayi dari pasangan suami istri yang memiliki kondisi sama dengan kami masih belum diperbolehkan pulang.
Bulan demi bulan berlalu, anak kami tumbuh menjadi anak yang aktif. Rasa bahagia mengisi seluruh rumah. Seluruh keluarga menyambut dengan suka cita. Hingga satu hari kami mendapat kabar bahwa bayi dari pasangan yang berjuang bersama kami saat di rumah sakit meninggal dunia. Berita ini mengagetkan, karena secara kondisi kehamilan dan pasca kelahiran anak kami dan anak mereka kurang lebih memiliki kondisi yang hampir serupa. Sebenarnya kami tidak memiliki ikatan darah dengan mereka, tetapi perjuangan bersama selama melewati masa-masa sulit itu membuat kami cukup dekat dan saling mengerti satu sama lain.
“Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.” 89 : 27–30
Jakarta
Mulai hitung berkat dan anugerahmu.
27.04.22–06.53